Rendi adalah seorang remaja yang dikenal orang-orang sebagai anak yang
pintar dan juga pandai bergaul. Wajahnya yang tampan membuatnya banyak dilirik
kaum hawa. Sifatnya yang santun terhadap siapa pun membuatnya tampak sempurna. Karena
itu semua ia mempunyai banyak teman, baik teman biasa maupun teman dekat. Ririn
adalah salah satu teman bermainnya sejak ia kecil. Mereka memang tidak tinggal di
satu wilayah yang berdekatan, tetapi karena ayah Rendi dan juga ayah Ririn
adalah teman dekat sejak SMA, Rendi dan Ririn menjadi teman yang begitu dekat
sejak mereka masih duduk di sekolah dasar (SD). Mereka semakin terlihat akrab
sejak mereka memasuki SMP. Sekolah di satu sekolah yang sama membuat mereka
semakin sering bertemu untuk bertatap muka secara langsung. Dan hampir setiap
harinya saat pulang sekolah mereka selalu pulang bersama.
“Rendi, Rendi ! pulang bareng yuk??” ajak Ririn yang berteriak memanggil
namaku dari kejauhan dan perlahan mendekati Rendi.
“Eh, kamu Rin, mau pulang bareng lagi?” tanya Rendi sembari tersenyum
manis kepada Ririn.
“Iya Ren, seperti biasa. Kan memang hampir tiap hari kita pulang bareng? Masa
kamu lupa sih?” Ririn memasang wajah manjanya kepada Rendi dengan harapan Rendi
akan menimbal balik sifat manja Ririn.
“Em, tapi aku ada janji mau main bareng dengan Roni, gimana ya?”
“Yah, jadi ngga’ bisa pulang bareng nih?’’ Ririn merasa kecewa dan
langsung mengkerutkan dahinya.
“Haha, ngga’ kok aku Cuma bercanda aja Rin.” Rendi mencoba membuat Ririn
tersenyum kembali.
“Ah, kamu ni Ren, seneng banget bercanda begitu.”
“Loh, kan memang aku sering bercanda begitu ke kamu, masa kamu ngga’
hafal-hafal juga dengan sifatku?’’
“Hehe, ngga’ kok Ren, aku juga Cuma bercanda aja.” Ririn memberi senyum
manis dari wajahnya ke arah Rendi dan perlahan mereka berjalan bersama menuju
pintu keluar dari sekolah mereka. Ririn yang sudah mengenal Rendi sejak SD tahu
hampir segala kesukaan Rendi mulai dari makanan kesukaannya, hobinya, buku
kesukaannya, dan banyak lagi yang lainnya. Dan Ririn pun tahu cita-cita Rendi,
menjadi seorang Dokter sama sepertinya. Tidak heran jika Ririn tahu apa saja
kesukaan Rendi, itu karena mereka selalu bercerita satu sama lain tentang apa
yang mereka sukai dan mereka tidak suka. Rendi pun tahu hampir segala yang
Ririn lakukan di setiap harinya. Apalagi sekarang zaman sudah canggih. Tidak perlu
pergi menghampiri salah satu di antara mereka untuk tahu apa yang sedang mereka
lakukan saat ini, tinggal SMS atau pun telefon saja mereka dapat saling
berkomunikasi tentang kegiatan yang sedang mereka lakukan.
Keesokan harinya, tepatnya hari minggu, Ririn merasa bosan karena di
rumah ia hanya sendiri saja. Tidak ada mama, tidak ada papa, bahkan kakak serta
adiknya pun tidak ada di rumah. Mereka semua pergi. Mama dan papa pergi
menghadiri sebuah acara pesta teman mama, sedangkan kakak dan adiknya pergi
bermain dengan teman-temannya. Sendiri di rumah dengan hanya ditemani televisi
membuatnya semakin merasa bosan. Ririn pun mencoba untuk menghibur dirinya
sendiri dengan mencoba meng-SMS Rendi, sambil berharap dia akan membuat
bosannya terasa hilang. Ririn pun mulai memikirkan apa yang ingin di ketik
olehnya.
“hmm, mau SMS apa ya ke Rendi?” Ririn bertanya-tanya sendiri.
Tak berapa lama Ririn pun mulai mengetik SMS dan mengirimnya ke Rendi.
“Pagi Rendi ^_^”
Itu lah SMS yang dikirimkan oleh Ririn setelah daritadi memikirkan ingin
memulainya dengan kata seperti apa. Ririn pun menunggu SMS dari Rendi, berharap
dia akan membalasnya. Namun sampai hari berlarut menuju siang hari tak kunjung
jua SMS balasan dari Rendi datang. Mungkin dia sedang tidak ada pulsa, mungkin
dia sedang sibuk, atau mungkin dia tidak membawa handphone miliknya. Hingga siang
pun berganti malam tak kunjung jua Rendi mencoba untuk membalas sampai Ririn
tertidur di kamarnya.
Saat di sekolah Ririn lantas menuju kelas Rendi untuk bertemu dengannya. Hanya
ingin memastikan saja kemana dia kemarin yang tidak ada kabar. Ririn pun sampai
di depan kelas Rendi dan melirik ke dalam kelas mencoba mencari seorang pria
putih tinggi dan tampan itu. Namun tak kunjung ia lihat batang hidungnya
sedikitpun.
“Eh, kamu teman sekelas Rendi kan?” tanya Ririn pada Okta yang merupakan
teman sekelas Rendi.
“Iya, ada apa ya?” tanya Okta kembali.
“Ngga’ apa-apa kok, aku Cuma mau tanya Rendi udah dateng apa belum?”
“Oh, Rendi, ngga’ tahu juga nih, daritadi ditungguin ngga’ dateng-dateng,
padahalkan ini sudah hampir bel masuk.”
“Hmm, jadi Rendi belum dateng ya? Yaudah kalo gitu makasih ya, bilang aja
kalo nanti dia sudah dateng di cari Ririn.”
“Ririn? Em, oke deh, nanti aku sampe’in ke Rendinya kalo dia sudah
dateng.”
Ririn pun bergegas pergi ke kelasnya dengan hati sedikit ragu. Ada apa
denga Rendi dalam hatinya, tidak biasanya Rendi tidak membalas SMS-nya atau pun
datang terlambat ke sekolah. Ririn pun lalu mencoba berpikir yang positif saja
tentang teman dekatnya itu, dan bersiap untuk belajar di kelasnya. Hingga bel
pulang terdengar Ririn pun kembali mendatangi kelas Rendi untuk menemuinya
mengajak Rendi pulang bersama. Namun kekecewaan kembali datang ke hati Ririn.
Dia kembali tidak dapat bertemu dengan Rendi karena dia tidak sekolah pada hari
ini. Ririn pun mencoba untuk tenang dan mulai berencana untuk datang ke
rumahnya.
Pukul tiga sore Ririn sampai di depan rumah Rendi. Bergegas Ririn
mendekati pintu lalu mengetuknya.
“Assalamu’alaikum, Rendi, Assalamu’alaikum.” Ririn mencoba memberi salam
dan memanggil Rendi agar membukakan pintu untuknya.
“Wa’alaikumsalam, eh Ririn, tumben dateng ke sini lagi, sudah lama ngga’
pernah main kesini lagi nih, apa kabar kamu Rin?” tanya seorang pria separuh
baya yang rambutnya sudah mulai memutih dan wajahnya sudah mulai sedikit
berkerut karena usianya yang tidak muda lagi.
“Iya nih om, memang sudah lama Ririn ngga’ pernah main kesini lagi, hehe.
Maaf yah om kalo Ririn sombong.”
“Ngga’ apa-apa kok, yang pentingkan sekarang kamu sudah datang kesini
lagi. Ayo masuk dulu ke dalam, kita ngobrol-ngobrol dulu.”
“Ah, ngga’ usah om, Ririn di luar aja, Ririn Cuma sebentar aja kok. Ririn
Cuma mau tau Rendi ada di rumah atau ngga’, soalnya tadi Rendi ngga’ masuk
sekolah om.”
“Oh, Rendi? Sudah ngga’ apa-apa kok, Rendi ngga’ masuk hari ini soalnya
sejak kemarin Rendi lagi ke Jakarta.”
“Ke Jakarta om? Ngapain dia ke Jakarta?” tanya Ririn menggebu-gebu.
“Dia sedang ke Rumah Sakit Rin, kan kamu tau kalo dia punya cita-cita
untuk jadi dokter sama kaya kamu, biar bisa nyembuhin orang-orang yang sakit,
terutama bagi orang-orang yang dia sayang.”
“Oh, Ririn kira dia ngga’ masuk kenapa gitu om, ternyata... hehe, semoga
aja dia bisa wujudin cita-citanya ya om. Kan Ririn juga senang kalo punya teman
seorang dokter, biar bisa berobat gratis, hehe.” Canda Ririn kepada ayah Rendi.
“Amin, do’akan aja ya Rin.”
“Iya om.”
Ririn pun lalu pulang ke rumahnya dengan hati yang tenang. Ternyata memang
tidak seharusnya dia berpikir hal negatif tentang Rendi. Ternyata Rendi hanya
ingin mencoba mewujudkan cita-citanya.
Ririn pun kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa lagi.
Beberapa bulan kemudian Ririn kembali merasa gelisah. Rendi yang adalah
teman baiknya tidak pernah hadir lagi di sekolah tempat mereka menuntut ilmu
bersama. Kemana Rendi kenapa tidak pernah ada kabar darinya. Mana mungkin
seorang yang masih SMP dan ingin mewujudkan cita-citanya untuk menjadi dokter
pergi tanpa pernah kembali untuk menuntut ilmu. Pikiran negatif kembali menimpa
dirinya. Hingga suatu hari Ririn akhirnya dapat bertemu kembali dengan Rendi.
Mereka bertemu di sebuah taman. Ririn yang sedari dulu menanti kabar dari
teman baiknya itu akhirnya tidak kuasa menahan air matanya karena orang yang
ingin ia temui akhirnya hadir di depan matanya.
“Kamu kemana aja Ren? Kamu ini pergi tanpa ada kabar sama sekali. Kamu anggap
aku ini apa?” Ririn memaki Rendi karena rasa senang bercampur haru yang sedang
ia rasakan akan kerinduannya. Air matanya pun mulai berjatuhan dari kedua bola
matanya.
“Aku ngga’ kemana-mana kok Rin, aku Cuma ke Jakarta sebentar aja. Jangan nangis
gitu dong, kan aku baik-baik aja.” Rendi mencoba mengahapuskan air mata yang
mengalir di pipi Ririn.
“Tapi kamu ngga’ pernah ngasih aku kabar. Aku kan khawatir sama kamu, aku
bingung harus mencari kamu kemana?” sembari terisak-isak oleh tangis.
“Iya sudah maafin aku ya Ririn teman baikku. Udah dong jangan nangis
lagi, malu tuh sama anak kecil yang lagi main di taman.” Rendi mencoba
menghibur Ririn agar tidak menangis lagi.
“Hmm... “
“Eh, kenapa? Wajah kamu manja banget deh, hehe.” Canda Rendi lagi.
“Ah, yasudah aku nangis lagi aja deh, huh.”
“Eits, jangan dong, nanti wajah cantik temanku ini jadi hilang loh?”
“Biarin aja, salah siapa coba?”
“Ya bukan salah siap-siapa sih, memangnya aku salah ya?”
“Huh, dasar cowok ngga’ peka. Bikin kesel aja deh.”
“Haha, bercanda loh Rin, gitu aja marah deh, nih aku punya coklat, mau
ngga’ nih??” Rendi mencoba menawarkan sebatang coklat kesukaan Ririn.
“Hmm,, nyogok nih ceritanya?”
“Jadi ngga’ mau nih? Yaudah deh aku makan sendiri aja.”
“Eh, mau ding mau....”
Perbincangan mereka pun berlanjut hingga waktu yang berangsur sore pun
memaksa mereka untuk berpisah sejenak. Ririn yang merasa rindu akan kehadiran
Rendi kini sudah merasa sedikit tenang. Hingga ia tertidur pulas dengan
nyamannya.
Beberapa tahun kemudian Rendi dan Ririn telah menjadi seorang mahasiswa
dan mahasiswi. Kedekatan mereka berdua sejak mereka SD telah membuat hati
mereka menjadi terikat. 2 tahun yang lalu Rendi dan Ririn yang dulunya sempat
menjadi teman dekat, kini mereka telah merubah status meraka menjadi sepasang
kekasih. Rendi menyatakan rasa sayangnya kepada Ririn saat mereka memasuki
kelas XI SMA. Ririn yang sebelumnya tidak pernah pacaran pun bingung harus
menjawab pernyataan dari Rendi. Hingga akhirnya Ririn memutuskan untuk menerima
Rendi untuk menjadi kekasih hatinya. Dua tahun berlalu di sekolah yang berbeda,
mereka jarang bertemu dan pulang bersama layaknya saat mereka SMP dulu. Hingga mereka
kembali dipertemukan di satu Universitas yang sama. Saat-saat mereka berpacaran
sewaktu SMA, Ririn tidak pernah menceritakan tentang penyakti yang ia derita
kepada Rendi. Ia takut Rendi akan merasa khawatir akan penyakit yang ia derita
sejak ia memasuki SMA. Namun perlahan Ririn memberanikan diri untuk memberitahu
Rendi bahwa ia terserang penyakit Kanker. Ririn menceritakan semuanya saat
mereka sudah hampir kelulusan SMA. Namun semua itu tidak membuat Rendi takut
atau pun ragu untuk melanjutkan hubungannya dengan Ririn. Rendi lantas merasa
tertantang untuk bisa menyembuhkan Ririn. Karena ia telah bercita-cita untuk
bisa menyembuhkan orang-orang yang ia sayangi dari penyakit yang mereka derita.
Ririn telah beberapa kali melakukan kemoterapi disebuah Rumah Sakit ternama
khusus bagi penderita kanker. Namun belum kunjung ada perkembangan bahwa ia
akan segera sembuh. Hingga Ririn memutuskan untuk berkata kepada Rendi.
“Ren, aku ini sakit. Aku tidak tahu sampai kapan aku akan menderita sakit
seperti ini. Aku tidak tahu kapan aku akan tiba-tiba menghilang dari dunia ini.”
Keluh Ririn kepada Rendi.
“Kamu jangan bilang begitu, sebentar lagi aku akan menjadi dokter. Aku akan
menyembuhkan penyakitmu. Kamu harus kuat.” Rendi mencoba mayakinkan Ririn.
“Tapi Ren? Kalo aku begini terus, waktu kamu akan terbuang sia-sia aja. Mungkin
lebih baik kamu mencari seorang yang lebih baik dari aku. Yang sehat, tidak
penyakitan seperti aku ini.”
“Aku akan menyembuhkanmu. Aku ingin diriku berguna bagi orang lain.”
“Tapi untuk apa lagi? Sebentar lagi aku akan semakin lemah dan mungkin
aku akan mati Ren.”
“Aku akan menyembuhkanmu lebih dulu.” Rendi tersenyum kepada Ririn dengan
begitu yakinnya.
Akhirnya tibalah saat dimana Rendi telah lulus sebagai seorang mahasiswa.
Rendi yang pintar membuatnya tidak perlu repot-repot melamar kerja. Ia langsung
di tawarkan untuk bekerja di sebuah Rumah Sakit. Rendi yang sudah belajar dan mencari tahu
tentang penyakit kanker kemudian bekerjasama dengan dokter yang sudah amat
profesional tentang penyakit kanker. Mereka bekerjasama untuk melakukan yang
terbaik untuk menyembuhkan penyakit yang di derita oleh Ririn.
“Rin, sekarang aku sudah di nobatkan sebagai seorang dokter. Dan sesuai
janjiku, aku akan menyembuhkanmu.”
“Terimakasih Ren atas segala usahamu untuk tetap memilih bertahan
denganku. Bahkan kamu rela menghabiskan waktumu untuk dapat menyembuhkanku dari
penyakit ini.”
“Untuk orang yang aku sayang, aku akan melakukan apa pun juga.” Tegas Rendi
Akhirnya Rendi yang bekerjasama dengan seorang dokter profesional kanker
melakukan tugasnya untuk menyembuhkan Ririn. Segala cara mereka tempuh untuk
dapat membuat Ririn sembuh.
KOMA, di atas sebuah ranjang khusus pasien. Dengan mengenakan baju khusus
dan sebuah jarum infus di tangan kanan yang menusuk pembuluh darah vena. Mengalirlah
sejumlah cairan kimia yang begitu panas. Cairan yang digunakan para dokter
untuk menyembuhkan seorang pasien penderita kanker. Sudah lebih dari 2 minggu
koma. Membuat semua merasa khawatir. Semakin hari kondisinya semakin melemah. Dan
akhirnya semua pun berakhir. Dia yang dulu adalah teman baiknya, yang selalu
menemani kesehariannya, yang sempat menjadi kekasih hatinya. Yang selalu
berusaha untuk melakukan yang terbaik. Akhirnya harus pergi untuk
selama-lamanya.
Air mata pun mengalir begitu deras dari kedua bola mata . Menangisi seorang
yang begitu disayanginya harus pergi meninggalkannya untuk selamanya. Seorang yang
telah berjuang keras, kini telah tiada lagi. Hanya sebuah kenanganlah yang kini
dapat ia rasakan. Ayahnya menceritakan semuanya.
“Dia adalah anak yang baik, bahkan
begitu baik. Dia memiliki cita-cita yang mulia menjadi seorang Dokter. Ia ingin
menyembuhkan orang-orang yang ia sayangi dengan tangannya sendiri. Segala cara
akan ia lakukan untuk membuat orang yang ia sayang dapat sembuh. Bahkan ia
tidak memikirkan kesehatannya sendiri demi untuk melihat orang yang ia sayang dapat kembali sembuh. Dulu
saat SMP ia sempat beberapa bulan berada di Rumah Sakit. Ia sempat Koma setelah
menjalani Kemoterapi pertamanya. Karena ia belum siap dan kondisinya begitu
lemah. Ia pun khawatir karena belum memberitahu kepada teman baiknya tentang
Kemoterapi yang akan ia lakukan. Ia berpesan untuk tidak memberitahu semuanya
sampai ia sehat kembali. Dan ia pun dapat kembali sehat dan menjalani kesehariannya.
Dan akhirnya ia berhasil untuk menyembuhkan seseorang yang ia sayangi dari
penyakit kanker. Ia menyembuhkannya dengan mengorbankan kesehatannya hingga ia tak
kuat lagi menahan rasa sakit yang ia
derita. Ia menderita penyakit kanker sejak SD, itu mengapa ia bercita-cita
untuk menjadi dokter dan bisa menyembuhkan orang lain. Dan akhirnya semua dapat
ia wujudkan. Dialah anakku, “Rendi”.