Jumat, 19 April 2013

TIDAK SELALU HARUS BERWUJUD BUNGA





Suamiku adalah seorang insinyur. Aku mencintai sifatnya yang alami dan aku menyukai perasaan hangat yang muncul di hatiku ketika aku bersandar di bahunya yang bidang.
Tiga tahun dalam masa perkenalan dan dua tahun dalam masa pernikahan, harus aku akui, membuat aku mulai merasa lelah. Alasan-alasan aku mencintainya dulu, telah berubah menjadi sesuatu yang MENJEMUKAN.
Aku seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif, serta berperasaan halus. Aku merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Namun semua itu tidak pernah aku dapatkan. Perilaku dan sifat suamiku jauh dari yang aku harapkan.
Rasa sensitifnya kurang dan ketidakmampuannya menciptakan suasana yang romantis dalam kehidupan pernikahan kami telah memntahkan semua harapan aku akan cinta yang ideal.
Suatu hari aku beranikan diri untuk mengatakan keputusanku kepadanya bahwa aku menginginkan perceraian. “Mengapa?” tanya suamiku dengan terkejut. “Aku lelah, kamu tidak pernah memberiku cinta yang kuinginkan,” jawabku.
Suamiku terdiam dan termenung sepanjang malam di depan kompternya, tampak seolah-olah sedang melakukan sesuatu,padahal tidak. Kekecewaanku semakin bertambah, aku melihat seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang aku harapkan darinya?.
Dan akhirnya suamiku bertanya,”Apa yang dapat aku lakukan untuk mengubah pikiranmu?’’
Aku menatapnya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan,”Aku punya pertanyaan, jika kamu dapat menemukan jawabannya dan menyentuh hatiku, aku akan mengubah pikiranku. “Seandainya, aku menyukai setangkai bunga indah yang ada di atas tebing gunung. Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan jatuh dan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untukku?”
Dia termenung dan akhirnya berkata,”aku akan memberikan jawabannya besok’’.
Perasaanku langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah dan aku menemukan selembar kertas dengan tulisan tangannya di bawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan “Sayang, aku tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi izinkan aku menjelaskan alasannya.” Kalimat pertama ini menghancurkan perasaanku, tetapi aku kuatkan hati untuk melanjutkan membaca suratnya.
“kamu selalu pegal-pegal saat teman baikmu datang kerumah dan aku harus menyediakan tanganku untuk memijat kakimu yang pegal.”
“kamu senang diam di rumah dan aku khawatir kamu akan menjadi aneh. Aku harus membelikan sesuatu untuk dapat menghiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami.”
“kamu selalu terlalu dekat menonton televisi atau saat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu. Aku harus menjaga mataku agar ketika kita tua nanti, aku masih dapat mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu.”
“tanganku akan selalu memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu.”
“tetapi sayang, aku tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati. Karena, aku tidak sanggup bila air matamu harus mengalir menangisi kematianku.”
“sayang, aku tahu, ada banyak orang yang bisa mencintai kamu lebih dari aku mencintaimu. Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan TANGAN, KAKI, dan MATAku tidak cukup untukmu, aku tidak bisa menahanmu untuk mencari TANGAN, KAKI, dan MATA LAIN yang dapat membahagiakanmu.”
Air mataku jatuh di atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi aku berusaha untuk terus membacanya.
“dan sekarang, sayang. Kamu telah selesai membaca jawabanku. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, aku sekarang sedang berdiri di depan pintu menunggu  jawabanmu. Jika kamu tidak puas dengan jawabanku ini, sayang, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku, dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, BAHAGIAku adalah BILA KAMU BAHAGIA.”
Aku segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang segelas susu dan roti kesukaanku.
Kini aku menyadari, tidak ada orang yang mencintaiku melebihi rasa cintanya padaku. Itulah CINTA, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. SERINGKALI yang kita butuhkan adalah MEMAHAMI wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu. Karena cinta tidak selalu harus berwujud “BUNGA”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar