Jumat, 19 April 2013

Impian Yang Terwujud




Rendi adalah seorang remaja yang dikenal orang-orang sebagai anak yang pintar dan juga pandai bergaul. Wajahnya yang tampan membuatnya banyak dilirik kaum hawa. Sifatnya yang santun terhadap siapa pun membuatnya tampak sempurna. Karena itu semua ia mempunyai banyak teman, baik teman biasa maupun teman dekat. Ririn adalah salah satu teman bermainnya sejak ia kecil. Mereka memang tidak tinggal di satu wilayah yang berdekatan, tetapi karena ayah Rendi dan juga ayah Ririn adalah teman dekat sejak SMA, Rendi dan Ririn menjadi teman yang begitu dekat sejak mereka masih duduk di sekolah dasar (SD). Mereka semakin terlihat akrab sejak mereka memasuki SMP. Sekolah di satu sekolah yang sama membuat mereka semakin sering bertemu untuk bertatap muka secara langsung. Dan hampir setiap harinya saat pulang sekolah mereka selalu pulang bersama.
“Rendi, Rendi ! pulang bareng yuk??” ajak Ririn yang berteriak memanggil namaku dari kejauhan dan perlahan mendekati Rendi.
“Eh, kamu Rin, mau pulang bareng lagi?” tanya Rendi sembari tersenyum manis kepada Ririn.
“Iya Ren, seperti biasa. Kan memang hampir tiap hari kita pulang bareng? Masa kamu lupa sih?” Ririn memasang wajah manjanya kepada Rendi dengan harapan Rendi akan menimbal balik sifat manja Ririn.
“Em, tapi aku ada janji mau main bareng dengan Roni, gimana ya?”
“Yah, jadi ngga’ bisa pulang bareng nih?’’ Ririn merasa kecewa dan langsung mengkerutkan dahinya.
“Haha, ngga’ kok aku Cuma bercanda aja Rin.” Rendi mencoba membuat Ririn tersenyum kembali.
“Ah, kamu ni Ren, seneng banget bercanda begitu.”
“Loh, kan memang aku sering bercanda begitu ke kamu, masa kamu ngga’ hafal-hafal juga dengan sifatku?’’
“Hehe, ngga’ kok Ren, aku juga Cuma bercanda aja.” Ririn memberi senyum manis dari wajahnya ke arah Rendi dan perlahan mereka berjalan bersama menuju pintu keluar dari sekolah mereka. Ririn yang sudah mengenal Rendi sejak SD tahu hampir segala kesukaan Rendi mulai dari makanan kesukaannya, hobinya, buku kesukaannya, dan banyak lagi yang lainnya. Dan Ririn pun tahu cita-cita Rendi, menjadi seorang Dokter sama sepertinya. Tidak heran jika Ririn tahu apa saja kesukaan Rendi, itu karena mereka selalu bercerita satu sama lain tentang apa yang mereka sukai dan mereka tidak suka. Rendi pun tahu hampir segala yang Ririn lakukan di setiap harinya. Apalagi sekarang zaman sudah canggih. Tidak perlu pergi menghampiri salah satu di antara mereka untuk tahu apa yang sedang mereka lakukan saat ini, tinggal SMS atau pun telefon saja mereka dapat saling berkomunikasi tentang kegiatan yang sedang mereka lakukan.

Keesokan harinya, tepatnya hari minggu, Ririn merasa bosan karena di rumah ia hanya sendiri saja. Tidak ada mama, tidak ada papa, bahkan kakak serta adiknya pun tidak ada di rumah. Mereka semua pergi. Mama dan papa pergi menghadiri sebuah acara pesta teman mama, sedangkan kakak dan adiknya pergi bermain dengan teman-temannya. Sendiri di rumah dengan hanya ditemani televisi membuatnya semakin merasa bosan. Ririn pun mencoba untuk menghibur dirinya sendiri dengan mencoba meng-SMS Rendi, sambil berharap dia akan membuat bosannya terasa hilang. Ririn pun mulai memikirkan apa yang ingin di ketik olehnya.
“hmm, mau SMS apa ya ke Rendi?” Ririn bertanya-tanya sendiri.
Tak berapa lama Ririn pun mulai mengetik SMS dan mengirimnya ke Rendi.
Pagi Rendi ^_^”
Itu lah SMS yang dikirimkan oleh Ririn setelah daritadi memikirkan ingin memulainya dengan kata seperti apa. Ririn pun menunggu SMS dari Rendi, berharap dia akan membalasnya. Namun sampai hari berlarut menuju siang hari tak kunjung jua SMS balasan dari Rendi datang. Mungkin dia sedang tidak ada pulsa, mungkin dia sedang sibuk, atau mungkin dia tidak membawa handphone miliknya. Hingga siang pun berganti malam tak kunjung jua Rendi mencoba untuk membalas sampai Ririn tertidur di kamarnya.

Saat di sekolah Ririn lantas menuju kelas Rendi untuk bertemu dengannya. Hanya ingin memastikan saja kemana dia kemarin yang tidak ada kabar. Ririn pun sampai di depan kelas Rendi dan melirik ke dalam kelas mencoba mencari seorang pria putih tinggi dan tampan itu. Namun tak kunjung ia lihat batang hidungnya sedikitpun.
“Eh, kamu teman sekelas Rendi kan?” tanya Ririn pada Okta yang merupakan teman sekelas Rendi.
“Iya, ada apa ya?” tanya Okta kembali.
“Ngga’ apa-apa kok, aku Cuma mau tanya Rendi udah dateng apa belum?”
“Oh, Rendi, ngga’ tahu juga nih, daritadi ditungguin ngga’ dateng-dateng, padahalkan ini sudah hampir bel masuk.”
“Hmm, jadi Rendi belum dateng ya? Yaudah kalo gitu makasih ya, bilang aja kalo nanti dia sudah dateng di cari Ririn.”
“Ririn? Em, oke deh, nanti aku sampe’in ke Rendinya kalo dia sudah dateng.”
Ririn pun bergegas pergi ke kelasnya dengan hati sedikit ragu. Ada apa denga Rendi dalam hatinya, tidak biasanya Rendi tidak membalas SMS-nya atau pun datang terlambat ke sekolah. Ririn pun lalu mencoba berpikir yang positif saja tentang teman dekatnya itu, dan bersiap untuk belajar di kelasnya. Hingga bel pulang terdengar Ririn pun kembali mendatangi kelas Rendi untuk menemuinya mengajak Rendi pulang bersama. Namun kekecewaan kembali datang ke hati Ririn. Dia kembali tidak dapat bertemu dengan Rendi karena dia tidak sekolah pada hari ini. Ririn pun mencoba untuk tenang dan mulai berencana untuk datang ke rumahnya.
Pukul tiga sore Ririn sampai di depan rumah Rendi. Bergegas Ririn mendekati pintu lalu mengetuknya.
“Assalamu’alaikum, Rendi, Assalamu’alaikum.” Ririn mencoba memberi salam dan memanggil Rendi agar membukakan pintu untuknya.
“Wa’alaikumsalam, eh Ririn, tumben dateng ke sini lagi, sudah lama ngga’ pernah main kesini lagi nih, apa kabar kamu Rin?” tanya seorang pria separuh baya yang rambutnya sudah mulai memutih dan wajahnya sudah mulai sedikit berkerut karena usianya yang tidak muda lagi.
“Iya nih om, memang sudah lama Ririn ngga’ pernah main kesini lagi, hehe. Maaf yah om kalo Ririn sombong.”
“Ngga’ apa-apa kok, yang pentingkan sekarang kamu sudah datang kesini lagi. Ayo masuk dulu ke dalam, kita ngobrol-ngobrol dulu.”
“Ah, ngga’ usah om, Ririn di luar aja, Ririn Cuma sebentar aja kok. Ririn Cuma mau tau Rendi ada di rumah atau ngga’, soalnya tadi Rendi ngga’ masuk sekolah om.”
“Oh, Rendi? Sudah ngga’ apa-apa kok, Rendi ngga’ masuk hari ini soalnya sejak kemarin Rendi lagi ke Jakarta.”
“Ke Jakarta om? Ngapain dia ke Jakarta?” tanya Ririn menggebu-gebu.
“Dia sedang ke Rumah Sakit Rin, kan kamu tau kalo dia punya cita-cita untuk jadi dokter sama kaya kamu, biar bisa nyembuhin orang-orang yang sakit, terutama bagi orang-orang yang dia sayang.”
“Oh, Ririn kira dia ngga’ masuk kenapa gitu om, ternyata... hehe, semoga aja dia bisa wujudin cita-citanya ya om. Kan Ririn juga senang kalo punya teman seorang dokter, biar bisa berobat gratis, hehe.” Canda Ririn kepada ayah Rendi.
“Amin, do’akan aja ya Rin.”
“Iya om.”

Ririn pun lalu pulang ke rumahnya dengan hati yang tenang. Ternyata memang tidak seharusnya dia berpikir hal negatif tentang Rendi. Ternyata Rendi hanya ingin mencoba mewujudkan cita-citanya.
Ririn pun kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa lagi.

Beberapa bulan kemudian Ririn kembali merasa gelisah. Rendi yang adalah teman baiknya tidak pernah hadir lagi di sekolah tempat mereka menuntut ilmu bersama. Kemana Rendi kenapa tidak pernah ada kabar darinya. Mana mungkin seorang yang masih SMP dan ingin mewujudkan cita-citanya untuk menjadi dokter pergi tanpa pernah kembali untuk menuntut ilmu. Pikiran negatif kembali menimpa dirinya. Hingga suatu hari Ririn akhirnya dapat bertemu kembali dengan Rendi.
Mereka bertemu di sebuah taman. Ririn yang sedari dulu menanti kabar dari teman baiknya itu akhirnya tidak kuasa menahan air matanya karena orang yang ingin ia temui akhirnya hadir di depan matanya.
“Kamu kemana aja Ren? Kamu ini pergi tanpa ada kabar sama sekali. Kamu anggap aku ini apa?” Ririn memaki Rendi karena rasa senang bercampur haru yang sedang ia rasakan akan kerinduannya. Air matanya pun mulai berjatuhan dari kedua bola matanya.
“Aku ngga’ kemana-mana kok Rin, aku Cuma ke Jakarta sebentar aja. Jangan nangis gitu dong, kan aku baik-baik aja.” Rendi mencoba mengahapuskan air mata yang mengalir di pipi Ririn.
“Tapi kamu ngga’ pernah ngasih aku kabar. Aku kan khawatir sama kamu, aku bingung harus mencari kamu kemana?” sembari terisak-isak oleh tangis.
“Iya sudah maafin aku ya Ririn teman baikku. Udah dong jangan nangis lagi, malu tuh sama anak kecil yang lagi main di taman.” Rendi mencoba menghibur Ririn agar tidak menangis lagi.
“Hmm... “
“Eh, kenapa? Wajah kamu manja banget deh, hehe.” Canda Rendi lagi.
“Ah, yasudah aku nangis lagi aja deh, huh.”
“Eits, jangan dong, nanti wajah cantik temanku ini jadi hilang loh?”
“Biarin aja, salah siapa coba?”
“Ya bukan salah siap-siapa sih, memangnya aku salah ya?”
“Huh, dasar cowok ngga’ peka. Bikin kesel aja deh.”
“Haha, bercanda loh Rin, gitu aja marah deh, nih aku punya coklat, mau ngga’ nih??” Rendi mencoba menawarkan sebatang coklat kesukaan Ririn.
“Hmm,, nyogok nih ceritanya?”
“Jadi ngga’ mau nih? Yaudah deh aku makan sendiri aja.”
“Eh, mau ding mau....”
Perbincangan mereka pun berlanjut hingga waktu yang berangsur sore pun memaksa mereka untuk berpisah sejenak. Ririn yang merasa rindu akan kehadiran Rendi kini sudah merasa sedikit tenang. Hingga ia tertidur pulas dengan nyamannya.

Beberapa tahun kemudian Rendi dan Ririn telah menjadi seorang mahasiswa dan mahasiswi. Kedekatan mereka berdua sejak mereka SD telah membuat hati mereka menjadi terikat. 2 tahun yang lalu Rendi dan Ririn yang dulunya sempat menjadi teman dekat, kini mereka telah merubah status meraka menjadi sepasang kekasih. Rendi menyatakan rasa sayangnya kepada Ririn saat mereka memasuki kelas XI SMA. Ririn yang sebelumnya tidak pernah pacaran pun bingung harus menjawab pernyataan dari Rendi. Hingga akhirnya Ririn memutuskan untuk menerima Rendi untuk menjadi kekasih hatinya. Dua tahun berlalu di sekolah yang berbeda, mereka jarang bertemu dan pulang bersama layaknya saat mereka SMP dulu. Hingga mereka kembali dipertemukan di satu Universitas yang sama. Saat-saat mereka berpacaran sewaktu SMA, Ririn tidak pernah menceritakan tentang penyakti yang ia derita kepada Rendi. Ia takut Rendi akan merasa khawatir akan penyakit yang ia derita sejak ia memasuki SMA. Namun perlahan Ririn memberanikan diri untuk memberitahu Rendi bahwa ia terserang penyakit Kanker. Ririn menceritakan semuanya saat mereka sudah hampir kelulusan SMA. Namun semua itu tidak membuat Rendi takut atau pun ragu untuk melanjutkan hubungannya dengan Ririn. Rendi lantas merasa tertantang untuk bisa menyembuhkan Ririn. Karena ia telah bercita-cita untuk bisa menyembuhkan orang-orang yang ia sayangi dari penyakit yang mereka derita. Ririn telah beberapa kali melakukan kemoterapi disebuah Rumah Sakit ternama khusus bagi penderita kanker. Namun belum kunjung ada perkembangan bahwa ia akan segera sembuh. Hingga Ririn memutuskan untuk berkata kepada Rendi.
“Ren, aku ini sakit. Aku tidak tahu sampai kapan aku akan menderita sakit seperti ini. Aku tidak tahu kapan aku akan tiba-tiba menghilang dari dunia ini.” Keluh Ririn kepada Rendi.
“Kamu jangan bilang begitu, sebentar lagi aku akan menjadi dokter. Aku akan menyembuhkan penyakitmu. Kamu harus kuat.” Rendi mencoba mayakinkan Ririn.
“Tapi Ren? Kalo aku begini terus, waktu kamu akan terbuang sia-sia aja. Mungkin lebih baik kamu mencari seorang yang lebih baik dari aku. Yang sehat, tidak penyakitan seperti aku ini.”
“Aku akan menyembuhkanmu. Aku ingin diriku berguna bagi orang lain.”
“Tapi untuk apa lagi? Sebentar lagi aku akan semakin lemah dan mungkin aku akan mati Ren.”
“Aku akan menyembuhkanmu lebih dulu.” Rendi tersenyum kepada Ririn dengan begitu yakinnya.

Akhirnya tibalah saat dimana Rendi telah lulus sebagai seorang mahasiswa. Rendi yang pintar membuatnya tidak perlu repot-repot melamar kerja. Ia langsung di tawarkan untuk bekerja di sebuah Rumah Sakit.  Rendi yang sudah belajar dan mencari tahu tentang penyakit kanker kemudian bekerjasama dengan dokter yang sudah amat profesional tentang penyakit kanker. Mereka bekerjasama untuk melakukan yang terbaik untuk menyembuhkan penyakit yang di derita oleh Ririn.
“Rin, sekarang aku sudah di nobatkan sebagai seorang dokter. Dan sesuai janjiku, aku akan menyembuhkanmu.”
“Terimakasih Ren atas segala usahamu untuk tetap memilih bertahan denganku. Bahkan kamu rela menghabiskan waktumu untuk dapat menyembuhkanku dari penyakit ini.”
“Untuk orang yang aku sayang, aku akan melakukan apa pun juga.” Tegas Rendi

Akhirnya Rendi yang bekerjasama dengan seorang dokter profesional kanker melakukan tugasnya untuk menyembuhkan Ririn. Segala cara mereka tempuh untuk dapat membuat Ririn sembuh.

KOMA, di atas sebuah ranjang khusus pasien. Dengan mengenakan baju khusus dan sebuah jarum infus di tangan kanan yang menusuk pembuluh darah vena. Mengalirlah sejumlah cairan kimia yang begitu panas. Cairan yang digunakan para dokter untuk menyembuhkan seorang pasien penderita kanker. Sudah lebih dari 2 minggu koma. Membuat semua merasa khawatir. Semakin hari kondisinya semakin melemah. Dan akhirnya semua pun berakhir. Dia yang dulu adalah teman baiknya, yang selalu menemani kesehariannya, yang sempat menjadi kekasih hatinya. Yang selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik. Akhirnya harus pergi untuk selama-lamanya.
Air mata pun mengalir begitu deras dari kedua bola mata . Menangisi seorang yang begitu disayanginya harus pergi meninggalkannya untuk selamanya. Seorang yang telah berjuang keras, kini telah tiada lagi. Hanya sebuah kenanganlah yang kini dapat ia rasakan. Ayahnya menceritakan semuanya.
Dia adalah anak yang baik, bahkan begitu baik. Dia memiliki cita-cita yang mulia menjadi seorang Dokter. Ia ingin menyembuhkan orang-orang yang ia sayangi dengan tangannya sendiri. Segala cara akan ia lakukan untuk membuat orang yang ia sayang dapat sembuh. Bahkan ia tidak memikirkan kesehatannya sendiri demi untuk melihat  orang yang ia sayang dapat kembali sembuh. Dulu saat SMP ia sempat beberapa bulan berada di Rumah Sakit. Ia sempat Koma setelah menjalani Kemoterapi pertamanya. Karena ia belum siap dan kondisinya begitu lemah. Ia pun khawatir karena belum memberitahu kepada teman baiknya tentang Kemoterapi yang akan ia lakukan. Ia berpesan untuk tidak memberitahu semuanya sampai ia sehat kembali. Dan ia pun dapat kembali sehat dan menjalani kesehariannya. Dan akhirnya ia berhasil untuk menyembuhkan seseorang yang ia sayangi dari penyakit kanker. Ia menyembuhkannya dengan mengorbankan kesehatannya hingga ia tak kuat lagi menahan rasa sakit yang  ia derita. Ia menderita penyakit kanker sejak SD, itu mengapa ia bercita-cita untuk menjadi dokter dan bisa menyembuhkan orang lain. Dan akhirnya semua dapat ia wujudkan. Dialah anakku, “Rendi”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar